Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Selasa, 05 Januari 2016

Widgets

SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA MASA NABI MUHAMMAD DAN KHULAFAH RASYIDIN


                                          Oleh: IRWANTO, S.Sy.,M.A
A.   PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan bimbingan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Sholawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, manusia sempurna yang senantiasa kita harapkan syafaatnya, dan yang telah membimbing umatnya dengan penuh kesabaran ke jalan yang benar.

Sejarah pertumbuhan dan perkembangan peradapan islam dimulai pada masa nabi Muhammad SAW sampai dengan masa Bani Umayyah. Nabi Muhammad SAW sebagai manusia teladan yang yang memiliki kepribadian luhur dan pantang mundur dalam perjuangan menegakkan syariat islam meskipun banyak mendapat cobaan dan rintangan.
Dalam sejarah Peradapan Islam, sejarah hidup Nabi Muhammad SAW biasanya dibedakan menjadi dua, yaitu ketika Nabi Muhammad menjalani hidup di Makkah dan di Madinah. Sejarah masa hidup Nabi ini selain dikaji dalam bidang sejarah, kerap kali pula mendapatkan perhatian dibidang disiplin seperti studi Al-Qur’an. Situasi dan kondisi yang dihadapi Nabi Muhammad menjadikan perbedaan tema-tema sentral dalam ajaran Islam melalui wahyu yang diterima Rasulullah.
Demikian juga yang terjadi dalam sejarah Islam, karena perbedaan dan tantangan yang dihadapi Nabi Muhammad berbeda di dua tempat tersebut para ahli sejarah Islam membagi sejarah hidup rasul tersebut ke dalam dua babak, yaitu sejarah ketika rasul di Makkah dan sejarah ketika rasul di Madinah. Dan tentang sejarah hidup rasul di Makkah dan Madinah.
Begitu juga dengan sejarah peradaban islam setelah nabi Muhammad wafat yang merupakan masa Khalifah Rasyidin, semua ini akan kita bahas dalam pembahasan makalah ini.


B.    PEMBAHASAN
1.    Islam Pada Masa Nabi Muhammad.
Kondisi bangsa arab sebelum kedatangan islam, terutama di sekitar Mekah masih diwarnai dengan penyembahan berhala sebagai Tuhan. Yang dikenal dengan istilah paganisme. Selain menyembah berhala, di kalangan bangsa Arab ada pula yang menyembah agama Masehi(Nasrani), agama ini dipeluk oleh penduduk Yaman, Najran, dan Syam. Di samping itu juga agama Yahudi yang dipeluk oleh penduduk Yahudi imigran di Yaman dan Madinah, serta agama Majusi, yaitu agama orang-orang persia.
            Nabi Muhammad SAW lahir pada tanggal 12 Rabiul Awwal atau 20 April 571 M. Ketika itu Raja Yaman Abrahah dengan gajahnya menyerbu Mekah untuk menghancurkan Ka’bah. Sehingga tahun itu dinamakan Tahun Gajah. Beliau telah menjadi yatim piatu ketika berumur delapan tahun, dan beliau diasuh oleh kakek dan pamannya, Abdul Muthalib dan Abu Thalib. Pada umur 12 tahun Nabi Muhammad sudah mengenal perdagangan, sebeb pada saat itu beliau telah diajak berdagang oleh paman beliau, Abu Thalib ke Negeri Syam. Dari pengalamannya berdagang, maka setelah beranjak dewasa, beliau ingin berusaha berdagang dengan membawa barang dagangan Khadijah, seorang saudagar wanita yang pada akhirnya menjadi istri beliau.
            Fase kenabian Nabi Muhammad dimulai ketika beliau bertahannus atau menyepi di Gua Hira, sebagai imbas keprihatinan beliau melihat keadaan bangsa Arab yang menyembah berhala. Di tempat inilah beliau menerima wahyu yang pertama, yang berupa surat Al-‘Alaq 1-5. Dengan wahyu yang pertama ini, maka beliau telah diangkat menjadi Nabi, utusan Allah. Pada saat itu, Nabi Muhammad belum diperintahkan untuk menyeru kepada umatnya, namun setelah turun wahyu kedua, yaitu surat Al-Mudatsir ayat 1-7, Nabi Muhammad saw diangkat menjadi Rasul yang harus berdakwah. Dalam hal ini dakwah Nabi Muhammad dibagi menjadi dua periode, yaitu :
a.       Periode Mekah, ciri pokok dari periode ini adalah pembinaan dan pendidikan tauhid(dalam arti luas)
b.      Periode Madinah, ciri pokok dari periode ini adalah pendidikan sosial dan politik(dalam arti luas)  
a.       Periode Mekah
Pada periode ini, tiga tahun pertama dakwah islam dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Nabi Muhammad mulai melaksanakan dakwah islam di lingkungan keluarga, mula-mula istri beliau sendiri, yaitu Khadijah, yang menerima dakwah beliau, kemudian Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar sahabat beliau, lalu Zaid bekas budak beliau.  Di samping itu, juga banyak orang yang masuk islam dengan perantaraan Abu Bakar yang terkenal dengan julukan Assabiqunal Awwalun(orang-orang yang lebih dahulu masuk islam), mereka adalah Utsman bin Affan, Zubair bin Awwan, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdur Rahmanbin ‘Auf, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Abu Ubaidah bin Jarhah, dan Al-Arqam bin Abil Arqam, yang rumahnya dijadikan markas untuk berdakwah(rumah Arqam). Kemudian setelah turun ayat 94 Surah Al-Hijr, nabi Muhammad saw memulai dakwah secara-terang-terangan.[1]
Dalam menyebarkan agama islam, Nabi Muhammad melakukannya dengan tiga cara, yaitu:
a.  Rahasia. Pada tahapan ini Nabi menyempaikannya hanya pada kalangan keluarganya sendiri dan teman dekatnya.
b.     Semi Rahasia. Beliau menyebarkan Agama Islam dalam ryang lingkup yang lebih luas, termasuk Bani Muthalib dan Bani Hasyim.
c.     Terang-Terangan(Demonstratif). Nabi dalam berdakwah secara terang-terangan ke segenap lapisan masyarakat, baik kaum bangsawan maupun hamba sahaya.
Dakwah yang disampaikan Nabi ini mendapatkan penolakan masyarakat Quraisy dalam berbagai cara. Penolakan tersebut diantaranya:
a.     Lunak. Cara ini dilakukan dengan menyebar propaganda. Bahwa  Nabi Muhammad adalah seorang pembohong, penjahat, dan juga pembuat perpecahan di kalangan bangsa arab dan lainnya
b.     Semi Lunak. Yaitu dengan membujuk Nabi Muhammad untuk menghentikan dakwah islamiyah
c.      Kasar/Keji. Yaitu dengan melakukan penyiksaan atau penganiayaan baik secara fisik maupun nonfisik
Dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw tidak mudah karena mendapat tantangan dari kaum kafir Quraisy. Hal tersebut timbul karena beberapa faktor, yaitu sebagai berikut :
1.     Bidang Politik Kekuasaan. Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Nabi Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib
2.     Sosial (persamaan derajat sosial). Nabi muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya
3.     Agama dan Keyakinan. Para pemimpin Quraisy tidak mau percaya ataupun mengakui serta tidak menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat
4.     Budaya. Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat akar pada bangsa Arab, sehingga sangat berat bagi mereka untuk meninggalkan agama nenek moyang dan mengikuti agama islam
5.    Ekonomi. Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.[2]
b.      Periode Madinah
Sebab utama Rasulullah bersama para sahabat melakukan hijrah ke Madinah, yaitu :
1.    Perbedaan iklim di kedua kota mempercepat dilakukannya hijrah. Iklim Madinah lembut dan watak rakyatnya yang tenang sangat mendorong penyebaran dan pengembangan agama islam. Sedangkan kota Mekah sebaliknya.
2.  Nabi-Nabi umumnya tidak dihormati di negara-negaranya sehingga Nabi Muhammadpun tidak diterima oleh kaumnya sendiri
3.  Tantangan yang nabi hadapi tidak sekerasa di Mekkah.[3]
Dalam periode ini, pengembangan islam lebih ditekankan pada dasar-dasar pendidikan masyarakat islam dan pendidikan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, Nabi kemudian meletakkan dasar-dasar masyarakat islam di Madinah, sebagai berikut:
a.  Mendirikan Masjid
Tujuan Rasulullah mendirikan masjid ialah untuk mempersatukan umat islam dalam satu majelis, sehingga di majelis ini umat islam bisa bersama-sama melaksanakan shalat berjamaah secara teratur, mengadili perkara-perkara dan musyawarah. Masjid ini memegang peranan penting untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempererat tali ukhuwah islamiyah.
b.  Mempersatukan dan mempersaudarakan antara kaum Anshar dan Muhajirin
Rasulullah saw mempersatukan keluarga-keluarga islam yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Dengan cara mempersaudarakan kedua golongan ini, Rasulullah saw telah menciptakan suatu pertalian yang berdasarkan agama pengganti persaudaraan yang berdasar kesukuan seperti sebelumnya.
c.    Perjanjian saling membantu antara sesama kaum muslimin dan bukan muslimin
Nabi Muhammad saw hendak menciptakan toleransi antargolongan yang ada di madinah, oleh karena itu Nabi membuat perjanjian antara kaum mus;limin dan nonmuslimin.
Menurut Ibnu Hisyam, isi perjanjian tersebut antara lain sebagai berikut :
1.  Pengakuan atas hak pribadi keagamaan dan politik
2.  Kebebasan beragama terjamin untuk semua umat
3.  Adalah kewajiban penduduk Madinah, baik muslim maupun nonmuslim, dalam hal moril maupun materiil. Mereka harus bahu membahu menangkis semua serangan terhadap kota mereka(Madinah)
4.  Rasulullah adalah pemimpin umum bagi penduduk Madinah. Kepada beliaulah dibawa segala perkara dan perselisihan yang besar untuk diselesaikan
d.  Meletakkan dasar-dasar politik, ekonomi dan sosial untuk masyarakat baru
Ketika masyarakat islam terbentuk maka diperlukan dasar-dasar yang kuat bagi masyarakat yang baru terbentuk tersebut. Oleh karena  itu, ayat-ayat Al-Quran yang diturunkan dalam periode ini terutama ditujukan kepada pembninaan hukum. Ayat-ayat ini kemudian diberi penjelasan oleh Rasulullah, baik dengan lisan maupun dengan perbuatan beliau sehingga terdapat dua sumber hukum dalam islam, yaitu Al-Quran dan hadis.
Dari kedua sumber hukum islam tersebut didapat suatu sistem untuk bidang politik, yaitu sistem musyawarah. Dan untuk bidang ekonomi dititikberatkan pada jaminan keadilan sosial, serta dalam bidang kemasyarakatan, diletakkan pula dasar-dasar persamaan derajat antara masyarakat atau manusia, dengan penekanan bahwa yang menentukan derajat manusia adalah ketakwaan.[4]
e.   Mengadakan perjanjian dengan seluruh penduduk Madinah, baik yang sudah masuk islam maupun yang belum masuk islam. Perjanjian ini dikenal dengan “Piagam Madinah”, yang berisi undang-undang dikenal dengan konstitusi Madinah. Konstitusi ini secara garis besar menyangkuit masalah-masalah yang berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, yaitu:
1.   Bidang Politik. Dalam piagam Madinah menerapkan sistem Musyawarah
2.   Bidang Keamanan. Seluruh warga negara berhak mendapat keamanan dan kemerdekaan
3.   Bidang Sosial. Nabi meletakkan dasar persamaan di antara manusia
4.   Bidang ekonomi. Nabi saw menerapkan sistem yang dapat menjamin keadilan sosial
5.   Bidang keagamaan. Hak beragama dijamin, namun harus memiliki sikap toleransi terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh masyarakat atau penduduk kota madinah.
Adapun penjabaran dari piagam ini yang dijadikan sebagai dasar dalam membina masyarakat islam yang baru dibentuk Rasulullah saw, meliputi beberapa prinsip, yaitu:
a.  Al-Ukhuwah. Ukhuwah ini meliputi Ukhuwah Basyariyah, Ukhuwah Wathaniyah dan Ukhuwah Islamiyah
b.  Al-Musawa. Semua penduduk memiliki kedudukan yang sama dan setiap warga masyarakat memuliki hak kemerdekaan, kebebasan, dan yang membedakan hanyalah ketakwaannya
c.  At-Tasamuh. Umat Islam siap berdamping secara baik dengan semua penduduk termasuk Yahudi serta bebas melaksanakan ajaran agama dan harus memiliki sikap toleransi
d.  Al-Ta’awun. Semua penduduk harus saling tolong menolong dalam hal kebaikan.
e.   Al-Tasyawur. Jika ada persoalan dalam Negara, harus melakukan musyawarah
f.   Al-‘Adalah. Berkaitan erat dengan hak dan kewajiban setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat(Adil).[5]

1.      Islam Pada Masa Khalifah Rasyidin
a.    Masa Abu Bakar
1. Peristiwa Tsaqifah Bani Sa’idah
Setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat segera berkumpul untuk bermusyawarah di suatu tempat yaitu Tsaqifah Bani Sa’idah (semacam MPR dulu dikenal dengan Nadi al-Qoum) guna memilih pengganti Rasulullah (Khalifah) memimpin ummat Islam. Musyawarah itu secara spontanitas diprakarsai oleh kaum Anshor. Sikap mereka itu menunjukkan bahwa mereka lebih memiliki kesadaran politik dari pada yang lain, dalam memikirkan siapa pengganti Rasulullah dalam memimpin umat Islam. Pihak Anshar mencalonkan Sa’ad bin Ubaidah.
Hingga peristiwa tersebut diketahui Umar, ia kemudian pergi ke kediaman Nabi dan mengutus seseorang untuk menemui Abu Bakar. Kemudian keduanya berangkat dan diperjalanan bertemu dengan Ubaidah bin Jarroh. Setibanya di balai Bani Sa’idah, mereka mendapatkan dua golongan besar kaum Anshor dan Muhajirin bersitegang. Dengan tenang Abu Bakar berdiri di tengah-tengah mereka, kemudian berpidato yang isinya merinci kembali jasa kaum Anshor bagi tujuan Islam. Di sisi lain ia menekankan pula anugrah dari Allah yang memberi keistimewaan kepada kaum Muhajirin yang telah mengikuti Muhammad sebagai Nabi dan menerima Islam lebih awal dan rela hidup menderita bersama Nabi. Abu bakar juga berpidato di hadapan para sahabat yang ada disana dengan alasan hadits Nabi: al-Aimmatu min Quraiys (kepemimpinan dalam Islam adalah dari golongan Quraisy). Akhirnya Abu Bakar terpilih sebagai Khalifah ar-Rasul (pengganti Rasul)[6]. Abu Bakar terpilih menjadi khalifah  dengan alasan utamanya adalah senioritas karena sejak mula pertama Islam diturunkan menjadi pendamping Nabi, dialah sahabat yang paling memahami risalah Rasul. Abu Bakar merupakan tokoh tua yang sangat dihormati serta orang yang pertama kali masuk Islam dari golongan tua. Setelah mereka sepakat dengan gagasan Umar, sekelompok demi sekelompok maju ke depan dan bersama-sama membaiat Abu Bakar sebagai Khalifah. Baiat tersebut dinamakan baiat Tsaqifah karena bertempat di balai Tsaqifah Bani Sa’idah. Pertemuan politik itu berlangsung hangat, terbuka, demokratis dan berdaulat. Pertemua politik itu merupakan peristiwa sejarah yang penting bagi umat Islam. Sesuatu yang mengikat mereka tetap dalam satu kepemimpinan pemerintahan. Terpilihnya Abu Bakar menjadi Khalifah Pertama, menjadi dasar terbentuknya sistem pemerintahan Khalifah dalam Islam.
2. Sistem Politik Islam Masa Khalifah Abu Bakar
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah merupakan bukti bahwa Abu Bakar menjadi Khalifah bukan atas kehendaknya sendiri, tetapi hasil dari musyawarah mufakat umat Islam. Dengan terpilihnya Abu Bakar menjadi Khalifah, maka mulailah Abu Bakar menjalankan kekhalifahannya,  baik sebagai pemimpin umat maupun sebagai pemimpin pemerintahan, dan juga di sinilah prinsip demokrasi tertanam sejak awal perkembangan Islam. Adapun sistem politik Islam pada masa Abu Bakar bersifat sentralistis sebagaimana yang diterapkan Nabi berdasarkan al-Qur’an Hadits, jadi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah, meskipun demikian dalam memutuskan suatu masalah, Abu Bakar selalu mengajak para sahabat untuk bermusyawarah. Kebijaksanaan politik yang dilakukan Abu Bakar dalam mengemban kekhalifahannya yaitu:
1. mengirim pasukan di bawah pimpinan Usamah bin Zaid, untuk memerangi kaum Romawi sebagai realisasi dari rencana Rasulullah, ketika Nabi masih hidup.
2. timbulnya kemunafikan dan kemurtadan. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka segala perjanjian dengan Nabi menjadi terputus.
3. khalifah di sisi lain juga serentak ekpedisi ke 12 front di bawah jenderal-jenderal di masing-masing batalyon, maka ketika para pembangkang kalah perang di salah satu front,lari ke wilayah lain pun tidak bertaan dan berkutik melawannya.[7]
Adapun kebijakan di bidang pemerintahan yang dilakukan oleh Abu Bakar adalah:
1. Pemerintahan Berdasarkan Musyawarah.
2. Amanat Baitul Mal.
                Para sahabat Nabi beranggapan bahwa Baitul Mal adalah amanat Allah dan masyarakat kaum muslimin. Karena itu mereka tidak mengizinkan pemasukan sesuatu kedalamnya dan pengeluaran sesuatu darinya yang berlawanan dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari’at. Mereka mengharamkan tindakan penguasa yang menggunakan Baitul Mal untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi.
3. Konsep Pemerintahan. Politik dalam pemerintahan Abu Bakar dengan corak pemerintahan yang bersifat senteralistis dan sangat merakyat.
4. Kekuasaan Undang-undang. Abu Bakar tidak pernah menempatkan dirinya diatas undang-undang. Dia juga tidak pernah memberi sanak kerabatnya suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari undang-undang. Mereka semua dihadapan undang-undang adalah sama seperti rakyat yang lain, baik kaum Muslim maupun non Muslim.



2.    Masa Umar Bin Khattab
Menjelang wafat, Abu Bakar menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Disinilah tanpak perbedaan, di mana Abu Bakar yang diangkat dan di akui oleh mayoritas umat, sedangkan Umar diangkat dan ditunjuk oleh seorang saja. Hal tersebut dilakukan supaya tidak muncul permasalaan seperti ketika Nabi meninggalkan umat Islam untuk memilih penggantinya timbul perselisihan yang nyaris membawa umat Islam ke gerbang kehancuran.
a.   Ahlul Hall Wal ‘Aqdi
Dalam masa pemerintahannya, Umar telah membentuk lembaga-lembaga yang disebut juga dengan ahlul hall wal aqdi, di antaranya adalah:
1. Majelis Syura (Diwan Penasihat), ada tiga bentuk :
a. Dewan Penasihat Tinggi, yang terdiri dari para pemuka sahabat yang terkenal, antara lain Ali, Utsman, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabbal, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Tolhah dan Zubair.
b. Dewan Penasihat Umum, terdiri dari banyak sahabat (Anshar dan Muhajirin) dan pemuka berbagai suku, bertugas membahas masalah-masalah yang menyangkut kepentingan umum.
c. Dewan antara Penasihat Tinggi dan Umum. Beranggotakan para sahabat (Anshar dan Muhajirin) yang dipilih, hanya membahas masalah-masalah khusus.
2. Al-Katib (Sekretaris Negara), di antaranya adalah Abdullah bin Arqam.
3. Nidzamul Maly (Departemen Keuangan) mengatur masalah keuangan dengan pemasukan dari pajak bumi, ghanimah, jizyah, fai’ dan lain-lain.
4. Nidzamul Idary (Departemen Administrasi), bertujuan untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat, di antaranya adalah diwanul jund yang bertugas menggaji pasukan perang dan pegawai pemerintahan.
5. Departemen Kepolisian dan Penjaga yang bertugas memelihara keamanan dalam negara.
6. Departemen Pendidikan dan lain-lain.
Pada masa Umar, badan-badan tersebut belumlah terbentuk secara resmi, dalam arti secara de jure belum terbentuk, tapi secara de facto telah dijalankan tugas-tugas badan tersebut. Meskipun demikian, dalam menjalankan roda pemerintahannya, Umar senantiasa mengajak musyawarah para sahabatnya.[8]
b. Perluasan Wilayah
Ketika para pembangkang di dalam negeri telah dikikis habis oleh Khalifah Abu Bakar dan era penaklukan militer telah dimulai, maka Umar menganggap bahwa tugas utamanya adalah mensukseskan ekspedisi yang dirintis oleh pendahulunya. Belum lagi genap satu tahun memerintah, Umar telah menorehkan tinta emas dalam sejarah perluasan wilayah kekuasaan Islam. Pada tahun 635 M, Damaskus, Ibu kota Syuriah, telah ia tundukkan. Setahun kemudian seluruh wilayah Syuriah jatuh ke tangan kaum muslimin, setelah pertempuran hebat di lembah Yarmuk di sebelah timur anak sungai Yordania. Keberhasilan pasukan Islam dalam penaklukan Syuriah di masa Khalifah Umar tidak lepas dari rentetan penaklukan pada masa sebelumnya.
Khalifah Abu Bakar telah mengirim pasukan besar dibawah pimpinan Abu Ubaidah Ibn al-Jarrah ke front Syuriah. Ketika pasukan itu terdesak, Abu Bakar memerintahkan Khalid Ibn al-Walid yang sedang dikirim untuk memimpin pasukan ke front Irak, untuk membantu pasukan di Syuriah. Dengan gerakan cepat, Khalid bersama pasukannya menyeberangi gurun pasir luas ke arah Syuriah. Ia bersama Abu Ubaidah mendesak pasukan Romawi. Dalam keadaan genting itu, wafatlah Abu Bakar dan diganti oleh Umar bin al-Khattab. Khalifah yang baru itu mempunyai kebijaksanaan lain. Khalid yang dipercaya untuk memimpin pasukan di masa Abu Bakar, diberhentikan oleh Umar dan diganti oleh Abu Ubaidah Ibn al-Jarrah. Hal itu tidak diberitahukan kepada pasukan hingga selesai perang, dengan maksud supaya tidak merusak konsentrasi dalam menghadapi musuh. Damascus jatuh ke tangan kaum muslimin setelah dikepung selama tujuh hari. Pasukan Muslim yang dipimpin oleh Abu Ubaidah itu melanjutkan penaklukan ke Hamah, Qinisrun, Laziqiyah dan Aleppo. Surahbil dan ‘Amr bersama pasukannya meneruskan penaklukan atas Baysan dan Jerussalem di Palestina. Kota suci dan kiblat pertama bagi umat Islam itu dikepung oleh pasukan Muslim selama empat bulan. Akhirnya kota itu dapat ditaklukkan dengan syarat harus Khalifah Umar sendiri yang menerima “kunci kota” itu dari Uskup Agung Shoporonius, karena kekhawatiran mereka terhadap pasukan Muslim yang akan menghancurkan gereja-gereja.
Dari Syuriah, laskar kaum muslimin melanjutkan langkah ke Mesir dan membuat kemenangan-kemenangan di wilayah Afrika Utara. Bangsa Romawi telah menguasai Mesir sejak tahun 30 SM. Dan menjadikan wilayah subur itu sebagai sumber pemasok gandum terpenting bagi Romawi. Berbagai macam pajak naik sehingga menimbulkan kekacauan di negeri yang pernah diperintah oleh raja Fir’aun itu. ‘Amr bin Ash meminta izin Khalifah Umar untuk menyerang wilayah itu, tetapi Khalifah masih ragu-ragu karena pasukan Islam masih terpencar dibeberapa front pertempuran. Akhirnya, permintaan itu dikabulkan juga oleh Khalifah dengan mengirim 4000 tentara ke Mesir untuk membantu ekspedisi itu. Tahun 18 H, pasukan muslimin mencapai kota Aris dan mendudukinya tanpa perlawanan. Kemudian menundukkan Poelisium (al-Farama), pelabuhan di pantai Laut Tengah yang merupakan pintu gerbang ke Mesir. Demikian juga dengan serangan-serangan terhadap Asia kecil yang dilakukan selama bertahun-tahun. Seperti halnya perang Yarmuk yang menentukan nasib Syuriah, perang Qadisia pada tahun 637 M, menentukan masa depan Persia. Pada tahun itu pula, seluruh Persia sempurna berada dalam kekuasaan Islam, sesudah pertempuran sengit di Nahawan. Isfahan juga ditaklukan. Demikian juga dengan Jurjan (Georgia) dan Tabristan, Azerbaijan. Orang-orang Persia yang jumlahnya jauh lebih besar dari pada tentara Islam, yaitu 6 dibanding 1, menderita kerugian besar. Kaum muslimin menyebut sukses ini dengan kemenangan dari segala kemenangan (fathul futuh). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kekuasaan Islam pada masa itu meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syiria, Mesir dan sebagian besar Persia
C. Pengembangan Islam Sebagai Kekuatan Politik
Periode kekhalifahan Umar tidak diragukan lagi merupakan abad emas Islam dalam segala zaman. Periodenya terkenal dengan pembangunan Islam dan perubahan-perubahannya. Khalifah Umar bin Khattab mengikuti langkah-langkah Rasulullah dengan segenap kemampuannya, terutama pengembangan Islam. Ia bukan sekedar seorang pemimpin biasa, tetapi seorang pemimpin pemerintahan yang professional. Ia adalah pendiri sesungguhnya dari sistem politik Islam. Ia melaksanakan hukum-hukum Ilahiyah (syariat) sebagai code (kitab undang-undang) suatu masyarakat Islam yang baru dibentuk. Maka tidak heran jika ada yang mengatakan bahwa Umar lah pendiri daulah islamiyah (tanpa mengabaikan jasa-jasa Khalifah sebelumnya). Banyak metode yang digunakan Umar dalam melakukan perluasan wilayah, sehingga musuh mau menerima Islam karena perlakuan adil kaum Muslim. Di situlah letak kekuatan politik terjadi. Dari usahanya, pasukan kaum Muslim mendapatkan gaji dari hasil rampasan sesuai dengan hukum Islam. Untuk mengurusi masalah ini, telah dibentuk Diwanul Jund. Sedangkan untuk pegawai biasa, di samping menerima gaji tetap (rawatib), juga menerima tunjangan (al-itha’). Khusus untuk Amr bin Ash, Umar menggajinya sebesar 200 dinar mengingat jasanya yang besar dalam ekspansi. Dan untuk Imar bin Yasar, diberi 60 dinar disamping tunjangan (al-jizyaat) karena hanya sebagai kepala daerah (al-amil). Dalam rangka desentralisasi kekuasaan, pemimpin pemerintahan pusat tetap dipegang oleh Khalifah Umar bin Khattab. Sedangkan di propinsi, ditunjuk Gubernur (orang Islam) sebagai pembantu Khalifah untuk menjalankan roda pemerintahan. Dalam pemerintahannya, terdapat Majlis Syura’, bagi umar tanpa musyawarah, maka pemerintahannya tidak bisa berjalan, selain itu membentuk departemen dan membagi daerah kekuasaan Islam menjadi delapan provinsi, membentuk kepala distrik yang disebut ‘amil, pada masanya juga terdapat kebijakan yang fenomenal dalam kebijakan ekonomi di Sawad (daerah subur), ia mengeluarkan dekrit bahwa orang Arab termasuk tentara dilarang transaksi jual beli tanah di luar Arab dengan alasan; mutu tentara Arab menurun, produksi menurun, negera rugi 80% dari pendapatan, dan rakyat akan kehilangan mata pencaharian yang menyebabkan mereka mudah memberontak terhadap negaga. Kebijakannya yang lain adalah menerapkan pajak perdagangan (bea cukai), dan lain-lain.
Pada akhir kepemimpinannya, Umar dibunuh oleh Abu Lu’lu (orang Persia). Hal ini dilatar belakangi oleh pemecatan Umar terhadap Mughirah Ibnu Syu’ba sebagai Gubernur Kuffah, karena Mughirah melakukan pembocoran rahasia Negara dan penghianatan. Menjelang wafat Umar membentuk tim formatur untuk musyawarah menentukan penggantinya, tim formatur terdiri dari enam orang sahabat yaitu Abdurrahman bin Auf, Thalhah, Zubair, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Talib, dan Saad ibn Waqas.
3.      Masa Usman Bin Affan
A. Proses Kekhalifahan Ustman bin Affan
Tim formatur yang telah dibentuk Umar di akhir masa kepemimpinannya tersebut dikenal dengan sebutan Ahlul Halli wal Aqdi dengan tugas pokok menentukan siapa yang layak menjadi penerus Khalifah Umar bin Khattab dalam memerintah umat Islam. Suksesi pemilihan Khalifah ini dimaksudkan untuk menyatukan kembali kesatuan umat Islam yang pada saat itu menunjukkan adanya indikasi disintegrasi. Sahabat-sahabat yang tergabung dalam dewan, posisinya seimbang tidak ada yang lebih menonjol sehingga cukup sulit untuk menetapkan salah seorang dari mereka sebagai pengganti Umar. Walau pada akhirnya, mereka memutuskan Ustman bin Affan sebagai Khalifah setelah Umar bin Khattab. Di antara kelima calon hanya Tholhah yang sedang tidak berada di Madinah ketika terjadi pemilihan. Abdurahman Ibn Auf mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan musyawarah pemilihan Khalifah pengganti Umar. Ia meminta pendapat masing-masing nominasi. Saat itu, Zubair dan Ali mendukung Ustman. Ustman sendiri mendukung Ali, tetapi Ali menyatakan dukungannya terhadap Ustman. Kemudian Abdurahman bin Auf mengumpulkan pendapat-pendapat sahabat besar lainnya. Akhirnya suara mayoritas menghendaki dan mendukung Ustman. Lalu ia dinyatakan resmi sebagai Khalifah melalui sumpah, dan baiat seluruh umat Islam. Pemilihan itu berlangsung pada bulan Dzul Hijjah tahun 23 H atau 644 M dan dilantik pada awal Muharram 24 H atau 644 M. Ketika Tholhah kembali ke Madinah Ustman memintanya menduduki jabatannya, tetapi Tholhah menolaknya seraya menyampaikan baiatnya. Demikian proses pemilihan Khalifah Ustman bin Affan berdasarkan suara mayoritas.
B. Perluasan Wilayah
Khalifah Utsman mengutus Sa’ad bin al-Ash bersama Khuzaifah Ibnu al-Yamaan serta beberapa sahabat Nabi lainnya pergi ke negeri Khurosan dan sampai di Thabristan dan terjadi peperangan hebat, sehingga penduduk mengaku kalah dan meminta damai. Tahun 30 H/ 650 M pasukan Muslim berhasil menguasai Khurazan. Adapun tentang Iskandariyah, bermula dari kedatangan Kaisar Konstantinopel II dari Romawi Timur atau Bizantium yang menyerang Iskandariyah dengan mendadak, sehingga pasukan Islam tidak dapat menguasai serangan. Panglima Abdullah bin Saad bin Abi Sarah yang menjadi wali di daerah tersebut meminta pada Khalifah Utsman untuk mengangkat kembali panglima Amru bin ‘Ash yang telah diberhentikan untuk menangani masalah di Iskandariyah. Abdullah bin Abi Sarah memandang panglima Amru bin ‘Ash lebih cakap dalam memimpin perang dan namanya sangat disegani oleh pikak lawan. Permohonan tersebut dikabulkan, setelah itu terjadilah perpecahan dan menyebabkan tewasnya panglima di pihak lawan. Selain itu, Khalifah Ustman bin Affan juga mengutus Salman Robiah al-Baini untuk berdakwah ke Armenia. Ia berhasil mengajak kerjasama penduduk Armenia, bagi yang menentang dan memerangi terpaksa dipatahkan dan kaum muslimin dapat menguasai Armenia.
Perluasan Islam memasuki Tunisia (Afrika Utara) dipimpin oleh Abdullah bin Sa‘ad bin Abi Sarah. Tunisia sebelum kedatangan pasukan Islam sudah lama dikuasai Romawi. Tidak hanya itu saja pada saat Syiria bergubernurkan Muawiyah, ia berhasil menguasai Asia kecil dan Cyprus. Dimasa pemerintahan Utsman, negeri-negeri yang telah masuk ke dalam kekuasaan Islam antara lain: Barqah, Tripoli Barat, sebagian Selatan negeri Nub’ah, Armenia, dan beberapa bagian Thabaristan bahkan tentara Islam telah melampaui sungai Jihun (Amu Daria), negeri Balkh (Baktria), Hera, Kabul dan Gzaznah di Turkistan. Jadi Enam tahun pertama pemerintahan Ustman bin Affan ditandai dengan perluasan kekuasaan Islam. Perluasan dan perkembangan Islam pada masa pemerintahannya telah sampai pada seluruh daerah Persia, Tebristan, Azerbizan dan Armenia selanjutnya meluas pada Asia kecil dan negeri Cyprus. Atas perlindungan pasukan Islam, masyarakat Asia kecil dan Cyprus bersedia menyerahkan upeti sebagaimana yang mereka lakukan sebelumnya pada masa kekuasaan Romawi atas wilayah tersebut.
C. Konflik dan Kemelut Politik Islam Masa Utsman bin Affan
Selama pemerintahan Utsman di bagi menjadi dua periode, yaitu periode kemajuan dan periode kemunduran. Pada periode kemajuan pemerintahan Utsman mengalami kemajuan yang sangat luar biasa. Peta Islam semakin meluas hingga perbatasan al-Jazair (Barqah dan Tripoli, Syprus di front barat). Di bagian Utara sampai Aleppo dan sebagian Asia kecil, Transoxiana, adapun di bagian Timur seluruh Persia bakan sampai wilayah Balucistan.  Selain itu Utsman berhasil membentuk armada laut dengan kapalnya yang kokoh dan mengalau serangan-serangan di Laut Tengah yang dilancarkan oleh tentara Bizantium. Namun, priode kemunduran kekuasaannya identik dengan kemunduran dengan huru-hara dan kekacauan yang luar biasa sampai akhir hayatnya.
Sebagian ahli sejarah menilai, bahwa Utsman melakukan nepotisme. Hal ini terlihat dari pengangkatan sanak saudaranya dalam jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan, hampir semua pejabat Negara dan panglima pada masa Umar dipecat olehnya kemudian mengangkat pengganti mereka dari keluarga yang tidak mampu dan tidak cakap untuk menjadi pengganti.
  Beberapa tuduhan nepotisme/KKN yang tujukan pada Utsman antara lain; Muawiyyah ibn Abi Sufyan yang merupakan masih satu suku dan keluarga dekat dengan Utsman mengganti Gubernur Syam, di Bashrah Abdullah ibn Amir yang merupakan sepupu Utsman menggantikan Musa al-Asy’ari, di Kuffah Utsman memecat Mughirah ibn Syu’bah yang pada saat masa Umar ampir di pecat tetapi baru terlaksana pada masa Utsman, di Kuffah Gubernurnya diganti sebanyak enam kali, selain dari Mughirah yaitu Saad ibn Abi Waqas, kemudian Saad ibn Abi Waqas, seseorang pilihan rakyat Bashrah namun hanya memimpin selama beberapa bulan kemudian dilanjutkan dengan Walid ibn Uqbah yang merupakan saudara susuan Utsman, selanjutnya Said ibn al-Ash yang merupakan keponakan Khalid, terakhir adalah Musa al-Asy’ari yang merupakan mantan Gubernur Bashrah dan bukan merupakan famili Utsman. Adapun di Mesir Amr bin ash yang merupakan Amir seluruh Mesir dan Abdullah ibn Saad amil di Nubai yang diangkat pada masa Umar, namun saat khalifah meminta laporan tahunan keduanya terdapat ketimpangan yaitu gagal mengumpulkan pajak, pada saat itu Abdullah mengumpulkan pajak dua kali lipat dari Amr. Khalifah meminta mlaporan keduanya karena khalifah butuh biaya banyak untuk membangun armada, Utsman ingin Amr tetap menjadi panglima dan gubernur seluruh Mesir dan menjadikan Abdullah ‘amil. Namun kemudian Amr memperotes khalifah dengan keras, akhirnya ia dipecat dan menjadikan Abdullah sebagai gubernur. Menurut M. Abdul Karim (2012:97-98) pemecatan Amr dari jabatannya sebagai gubernur adalah untuk mengambil hati rakyat Mesir dengan memungut pajak sesedikit mungkin membuat situasi kacau antara Mesir Selatan (di mana Abdullah sebagai ‘amil yang memungut pajak dua kali lipat dari pada Mesir di Utara) dengan Mesir Utara. Selisih kebijakan ekonomi ini juga menimbulkan keresahan di kalangan rakyat Nubia.
Perlu diketahui terdapat fakta lain di balik tuduhan nepotisme/KKN yang ditujukan pada Utsman antara lain: a) pengangkatan Muawiyah ibn Abi Sufyan yang mengganti Gubernur Syam adalah karena kecakapan dan kemampuannya, terutama waktu menghadapi Bizantium, ia menunjukkan keberhasil yang sangat luar biasa. b) di Bashrah Abdullah ibn Amir yang merupakan sepupu Utsman, ia merupakan orang yang menaklukkan Persia yang menggantikan Musa al-Asy’ari, padahal ia banyak mengumpulkan hadits akan tetapi ia tidak disukai rakyat, Musa merupakan panglima ke Kurd, pidatonya memerintahkan agar berhemat, tetapi malah ia sendiri memakai jubah yang mahal serta menggunakan kuda yang mahal, ia juga terkenal kikir. c) di Kuffah Utsman memecat Mughirah ibn Syu’bah yang pada saat masa Umar ampir di pecat tetapi baru terlaksana pada masa Utsman, di Kuffah Gubernurnya diganti sebanyak enam kali, selain dari Mughirah yaitu adalah Saad ibn Abi Waqas, ia menyalah gunakan jabatannya seperti meminjam uang tanpa melapor pada khalifah. selanjutnya seseorang pilihan rakyat Bashra namun hanya memimpin selama beberapa bulan kemudian dilanjutkan dengan Walid ibn Uqbah yang merupakan saudara susuan Utsman, banyak keluhan rakyat bahwa is minum khamer dan pembawaannya keras dan kasar, tetapi setelah ia terbukti salah, ia dihukum dengan hukuman cambuk. Ini membuktikan bahwa ia tidak memandang Walid sebagai keluarga dan tidak dibelanya menjadi bukti Usman tidak melakukan nepotisme. Justru Walid yang kemudian bergabung dengan kelompok oposisi di Syam (namun tidak berhasil karena daerah binaan Muawiyah adalah pendukung kalifah), Kuffa, Bashrah, dan Mesir, untuk melancarkan propagandanya dan memusuhi kalifah. Setelah Walid melancarkan propaganda yang kotor, menghancurkan bangunan kepercayaan yang megah dibangun awal periode Utsman, hancur lebur dengan sikap Walid. Dalam al ini, Walid situasi sudah di luar kendali, meskipun dipecat dan dicambuk, tetapi kemudian kalifah membiarkannya secara bebas propaganda.  Selanjutnya Said ibn al-Ash yang merupakan keponakan Khalid, ia cakap dan berprestasi terutama dalam penaklukkan Persia Utara, Azerbeijan. Namun ia dituduh nenomor satukan Arab dari pribumi, ia juga seseorang yang tak sabar serta peminum khamer d) terakhir adalah Musa al-Asy’ari yang merupakan mantan Gubernur Bashrah dan bukan merupakan famili Utsman namun ia tak dapat mengatasi situasi, kepemimpinannya tidak sebaik pada waktu ia menjabat sebelumnya. Justru  setelah asy’ari yang tidak ada hubungan darah dengan Utsman, pengganti Sa’id. Di sisi lain, Abdullah orang yang sangat dikagumi khalifah Utsman dengan berbagai prestasinya, namun akhirnya dipecat atas desakan rakyat Mesir dan menggantikan Muhammad ibn Abu Bakar.[9]
4. Masa Ali  Bin Abi Thalib
a. Pembaiatan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Dalam pemilihan   Khalifah   terdapat perbedaan pendapat   antara   pemilihan   Abu bakar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Ketika kedua pemilihan  Khalifah terdahulu (Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Ustman ibn Affan), meskipun mula-mula  terdapat sejumlah orang yang menentang, tetapi setelah  calon terpilih dan diputuskan  menjadi Khalifah, semua orang menerimanya   dan   ikut berbaiat serta menyatakan   kesetiaannya. Namun lain halnya  ketika pemilihannya Ali bin Abi Thalib, justru sebaliknya.
Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan, masyarakat beramai-ramai   datang dan membaiat Ali bin Abi Thalib   sebagai Khalifah. Beliau diangkat   melalui   pemilihan dan pertemuan terbuka. Akan tetapi suasana pada saat itu sedang kacau, karena hanya ada beberapa tokoh senior masyarakat Islam yang tinggal di Madinah. Sehingga keabsahan pengangkatan Ali bin Abi Thalib ditolak oleh sebagian masyarakat termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Meskipun hal itu terjadi, Ali  masih  menjadi  Khalifah  dalam pemerintahan Islam.
Pro dan kontra terhadap pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah di karenakan beberapa hal yaitu bahwa orang yang tidak menyukai Ali   diangkat menjadi Khalifah, bukanlah rakyat umum yang terbanyak. Akan tetapi golongan kecil (keluarga Umaiyyah) yaitu keluarga yang selama ini telah hidup bergelimang harta selama pemerintahan Khalifah Ustman. Mereka menentang Ali karena khawatir kekayaan   dan kesenangan mereka akan hilang lenyap karena keadilan yang akan dijalankan oleh Ali. Adapun rakyat terbanyak, mereka menantikan kepemimpinan Ali dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Beliau akan dijadikan tempat berlindung melepaskan diri dari penderitaan yang mereka alami.[10]
b. Kebijaksanaan  Politik Ali bin Abi Thalib
Menurut  Thabani  yang  dikutip  oleh  Syalaby      setelah  Ali  dibaiat menjadi Khalifah, ia mengeluarkan dua kebijaksanaan politik yang sangat radikal yaitu:
1.          Memecat kepala daerah angkatan Ustman dan menggantikan dengan gubenur baru.
2.          Mengambil kembali tanah yang dibagi–bagikan Ustman kepada famili–familinya dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah.
Menanggapi  kebijakan  yang  dilakukan  okleh  Ali  tersebut,  ada  yang  berpendapat bahwa kebijaksanaan Ali itu terlalu radikal dan kurang persuasive, sehingga menimbulkan perlawanan politik dari gubenur khususnya gubenur Syiria (Bani Ummayyah) yang tidak mau tunduk pada Khalifah Ali, terbukti ia menolak kehadiran gubenur yang baru diangkat Ali.
Penulis memandang bahwa tindakan politik Ali yang radikal itu kendati strategis tapi tidak taktis, sebab pada masa Khalifah Ustman konflik etnis antara Bani Ummayyah dan Bani  Hasyim  sudah  ada,  terbukti  ketika  Ustman  terbunuh  secara  misterius  Bani Ummayyah  mengeksploitasi  tuduhan  pada  Ali,  karena  didasari  Bani  Umayyah  yang memang ambisi menjadi Khalifah.
Semestinya gerakan radikal Ali untuk mengusir elite Bani Umayyah dilakukan secara bertahap,  sebab  walau  bagaimanapun  elite  baru  yang  telah  lama  berkuasa  seperti Muawiyah sulit ditundukkan, sedangkan Ali yang mengandalkan idealisme dan dukungan masyarakat bawah beberapa kelompok tua terlalu intelektual tapi kurang pengalaman dalam menyelesaikan konflik dalam pemerintahan, sehingga dengan demikian yang muncul dalam pemerintahan bukan integrasi   tetapi disintegrasi yang ditandai dengan lahirnya perang saudara yang pertama kali dalam Islam, yakni perang jamal. Pada masa khalifah Ali terdapat beberapa kali perang antara lain perang shiffin dan perang nahrawan.[11]

C.   PENUTUP
Nabi Muhammad SAW bukan hanya sebagai seorang Rasulullah yang di utus untuk menyebarkan ajaran Islam, melainkan juga sebagai pemimpin negara yang pandai dalam berpolitik, sebagai seorang panglima perang serta seorang administrator yang cakap, hanya dalam waktu kurun waktu singkat Rasulullah bisa menaklukkan seluruh Jazirah Arab. Dengan mengamati pola keberagaman pembangunan dasar-dasar pemerintahan Islam dari masa Rasulullah Saw sampai dengan masa Khulafaurrasyidin, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
  1. Nabi Saw merupakan seorang yang dilahirkan dari keturunan para pemimpin,, maka pantaslah jika beliau menjadi pemimpin yang handal dalam mengatur dan mengarahkan umatnya.
  2. Bahwa Nabi Saw telah meletakkan pola dasar pembangunan peradaban manusia diawali dengan pembangunan masjid Kuba.
  3. Nabi Saw telah membuat sistem perundang-undangan dalam menata kemasyarakatan di Madinah dalam upaya menegakkan sendi-sendi kenegaraan, yakni dengan membuat kesepakatan tidak saling mengganggu dan Nabi Saw melindungi penduduk Mekah dan menjamin hak-haknya meskipun mereka beragama Yahudi dan Nasrani.
  4. Nabi Saw mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar mempunyai peran strategis dalam upaya membangun Negara yang kokoh dan kuat. Dan hal ini merupakan satu contoh langkah politik yang berlandaskan agama.
  5. Berakhirnya pemerintahan Nabi Saw, Khulafaurrasyidin menggantikan peran beliau. Abu Bakar adalah Khalifah pertama yang meneruskan kepemimpinan Nabi Saw dengan sistem yang diwarisi dari nabi Saw.
  6. Peran Abu Bakar sebagai Khalifah sangat besar, beliau berupaya mengumpulkan Al Qur’an agar tidak punah, membangun baitul Mal, menumpas nabi-nabi palsu dan pembangkang zakat dan lain-lain.
  7. Pola kepemimpinan Umar yang adil dan tidak memihak menjadi contoh nyata bahwa sebagai pemimpin selayaknya kita berlaku demikian, adil tidak memandang pangkat dan golongan, status dan usia, agama dan ras budayanya.
  8. Umar bin Khattab membangun kantor-kantor perwakilan pemerintahan dan menunjuk gubernur-gubernur serta mendirikan jawatan pos dan perpajakan, merupakan gambaran umum bahwa dalam pemerintahannya sudah semakin lengkap dan teratur.
  9. Usaha perluasan pemerintahan Islam terjadi kemajuan yang signifikan, sehingga daerah-daerah di Afrika dan sebagaian eropa mampu dikuasai terutama Romawi.
  10. Utsman bin Affan sebagai Khalifah ke tiga membawa perubahan cukup banyak dalam pemerintahan Islam dan peradaban Islam. Pada masa pemerintahannya armada angakatan laut dibangun sebagai bentuk gambaran akan kuat dan lengkapnya militer dan pemerintahan pada masanya sehingga disegani musuh.
  11. Khalifah Ali bin Abi Thalib menggantikan kekhalifahan Umar dengan sebuah proses yang panjang, dalam pemerintahannya banyak ditemukan ganjalan-ganjalan sehingga roda pemerintahannya tidak berjalan lancar. Akan tetapi beliau tetap mengemban amanah kekahalifahan dengan baik.



[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, cet 2 (Jakarta: Amzah, 2010) hal 65-67
[2] Fatikhah, Sejarah Peradaban Islam, (Pekalongan:STAIN Pekalongan Press, 2011)  hal 58-60
[3] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2011) hal 13
[4] Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta:PT Pustaka Al-Husna Baru, 2003) hal 102-104
[5] Fatikhah, Op. Cit,  hal 75-77
[6] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian Kesatu & dua. Jakarta: Rajawali Pers, 1999, hlm. 55-68.
[7] Fatikhah, Op. Cit,  hal 85-86
[8] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, cet 2 (Jakarta: Amzah, 2010) hal 70-71
[9] Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta:PT Pustaka Al-Husna Baru, 2003) hal 102-104
[10] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2011) hal 30
[11] Ibid, h 31

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

1 komentar: