Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Rabu, 15 April 2015

Widgets

WASIAT WAJIBAH




A.   Pendahuluan

Salah satu tujuan perkawinandisamping untuk mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah, menghubungkan silaturrahim juga untuk menciptakan keseimbangan dan melanjutkan  keturunan,  secara lahiriah pasangan suami istri pada umumnya sangat mendambakan keturunan  yaitu anak yang merupakan hasil perkawinan sebagai penerus keluarga, anak merupakan curahan kasih sayang orang tua yang nantinya akan menjadi pewaris.
Secara realita banyak pasangan suami istri yang sudah mapan dan perekonomian yang berlebihan belum berhasil memperoleh keturunan sementara disatu sisi pasangan suami istri yang belum siap secara perekonomian belum tercukupi justru banyak mempunyai keturunan. Dari gambaran tersebut diatas suami istri yang tak memperoleh keturunan dapat mengangkat anak dari kedua orang tua yang menyerahkan anaknya untuk di adopsi menjadi anak angkat. Dengan demikian terjadilah peralihan tanggungjawab dari orang tua yang menyerahkan anaknya kepada yang menerima, kemudian bersedia mendidik dan membesarkannya sebagaimana anak kandungnya sendiri.
Proses pengangkatan anak mengakibatkan ketentuan hukum baru, dimana jika terjadi sesuatu musibah dan mengakibatkan kematian terhadap orang tua angkat tersebut maka akan terjadi perubahan sosial tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan . kedudukan anak angkat/orang tua angkat pada hukum waris yang di atur dalam Hukum adat keduanya adalah ahli waris yang saling mewarisi dan menurut Kompilasi Hukum Islam anak angkat/orang tua angkat berhak mendapatkan  wasiat wajibah sebanyak 1/3 apabila anak angkat tidak menerima warisan. Sementara Kitab Undang undang Hukum Perdata pasal 832 dan dalam hukum Islam keduanya tidak termasuk ahli waris.
.
B.   PEMBAHASAN
1.    Pengertian Wasiat Wajibah
                        Istilah “wasiat” diambil dari washaitu-ushi asy-syai’a (aku menyambung sesuatu).
             Dalam syari’at, wasiat adalah penghibahan benda, piutang, atau manfaat oleh seseorang kepada orang lain dengan ketentuan bahwa orang yang diberi wasiat memiliki hibah tersebut setelah kematian orang yang berwasiat.[1]
                                Yang dimaksud wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia. Wasiat tetap harus dilakukan baik diucapkan atau tidak diucapkan baik dikehendaki maupun tidak dikehendaki oleh si yang meninggal dunia.. Jadi, pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.[2]
                        Wasiat wajibah juga dapat diartikan sebagai suatu pemberian yang wajib kepada ahli waris atau kaum keluarga terutama cucu yang terhalang dari menerima harta warsian karena ibu atau ayah mereka meninggal sebelum kakek atau nenek mereka meninggal atau meninggal bersamaan. Ini karena berdasarkan hukum waris  mereka terhalang dari mendapat bagian harta peninggalan kakek dan neneknya karena ada ahli waris paman atau bibi kepada cucu tersebut.[3]
2.    Hukum Wasiat
                        Menurut pendapat yang berasal dari empat Imam dan para ulama zaidiyah, hukum wasiat dapat berubah-ubah seiring dengan perubahan kondisi. Kadang wasiat menjadi wajib, sunnah, haram, makhruh, dan kadang mubah.
a.    Wasiat hukumnya wajib, jika seseorang menanggung kewajiban syar’i yang dia khawatirkan akan tersia-siakan jika tidak diwasiatkannya, seperti zakat.
b.    Wasiat hukumnya sunnah, jika dilakukan dalam ibadah-ibadah atau diberikan kepada karib kerabat yang miskin dan orang-orang miskin yang shaleh diantara manusia.
c.    Wasiat hukumnya haram, jika menimbulkan kerugian bagi ahli waris.
d.    Wasiat hukumnya makruh, jika harta orang yang berwasiat sedikit, sedangkan dia memiliki seorang ahli waris atau beberapa orang ahli waris yang membutuhkannya.
e.    Wasiat hukumnya mubah, jika wasiat itu ditujukan kepada kerabat-kerabat atau tetangga –tetangga yang penghidupan mereka sudah tidak kekurangan.[4]
Awalnya wasiat wajibah dilakukan karena terdapat cucu/cucu-cucu dari anak/anak-anak pewaris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris. Atas fenomena ini, Abu Muslim Al-Ashfahany berpendapat bahwa wasiat diwajibkan untuk golongan-golongan yang tidak mendapatkan harta pusaka. Ditambahkan oleh Ibnu Hazmin. [5]
        Ketentuan wasiat wajibah diatas merupakan hasil ijtihad para ulama dalam menafsirkan QS: Al-Baqarah :180
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Artinya : “ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan kerabatnya  secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas 0rang-orang yang bertaqwa (Q.S. Al-Baqarah: 180).[6]
        Sebagian ulama, dalam menafsirkan ayat 180 surat Al-Baqarah di atas, berpendapat bahwa wasiat (kepada ibu-bapak dan kerabat) yang asalnya wajib, sampai sekarang pun kewajiban tersebut masih tetap dan diberlakukan, sehingga pemberian wasiat wajibah kepada walidain dan aqrabin yang mendapatkan bagian (penerimaan) dapat diterapkan dan dilaksanakan.
Wasiat wajibah ini harus memenuhi dua syarat :
Pertama : yang wajib menerima wasiat, bukan waris. Kalau dia berhak menerima pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya.
Kedua : orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang lain, seperti hibah umpamanya.
Membedakan Wasiat dengan Wasiat Wajibah
No
Perbedaan
Wasiat biasa
Wasiat wajibah
1
Dari segi yang orang menerima wasiat.
Orang lain selain orang yang menjadi ahli waris.
Diberikan kepada anak angkat yang tidak mendapat wasiat biasa.
 Cucu laki-laki maupun cucu perempuan yang orang tuanya mati mendahului atau bersama-sama kakek atau neneknya (pewasiat).
2
Dari segi  hukum
      sunah
      wajib

3.    Rukun Wasiat
a.  Orang yang berwasiat, dengan syarat :
- Berakal sehat                    
           - Baligh
           - Atas kehendak sendiri
           - Harta yang sah/miliknya
b. Orang yang menerima wasiat (Mushalahu), dengan syarat :
- Jelas identitasnya
- Harus ada ketika pembuatan pernyataan wasiat
- Bukan bertujuan untuk maksiat
- Bukan pewaris, kecuali diizini keluarga
            c  . Sesuatu yang diwasiatkan (Mushabihi), dengan syarat :
- Milik pemberi wasiat
- Sudah berwujud
- Dapat dimiliki/pemberi manfaat
- Tidak melebihi 1/3
4. Batas Pemberian dan Pelaksanaan Wasiat
Adapun batasan dalam pelaksanaan wasiat, maka apabila wasiat itu telah cukup syarat-syarat dan rukun-rukunnya hendaklah wasiat tersebut dilaksanakan sepeninggal si pewasiat. Sejak itu si penerima wasiat sudah memiliki harta wasiat dan karenanya dia dapat memanfaatkan dan mentransaksikannya menurut kehendaknya.
5.  Pembatal Wasiat
            Yang membatalkan adanya pelaksanaan wasiat adalah :
a.    Mushi menarik wasiatnya
b.    Mushalahu menolak wasiat
c.    Mushalahu membunuh washi
d.    Mushalahu meninggal sebelum mushi meninggal
e.    Mushabihi binasa atau mengalami perubahan bentuk
f.     Mushabihi diputuskan hakim sebagai milik orang lain
g.    Habis waktu wasiatnya, jika ada batasannya.
6.    Wasiat Wajibah Menurut Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan bahwa antara anak angkat dan orang tua angkat terbina hubungan saling berwasiat. Dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi :  (1)  Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyak- banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.[7]
Konsep 1/3 (satu pertiga) harta peninggalan didasarkan pada hadits Sa’ad bin Abi Waqash, seorang sahabat Nabi. Sa’ad bin Abi Waqash.[8]sewaktu sakit dikunjungi oleh Rasulullah, bertanya, “Saya mempunyai harta banyak akan tetapi hanya memiliki seorang perempuan yang mewaris. Saya sedekahkan saja dua pertiga dari harta saya ini.” Rasulullah menjawab “Jangan.” “Seperdua?” tanya Sa’ad lagi. Dijawab Rasulullah lagi dengan “Jangan.” “Bagaimana jika sepertiga?” tanya Sa’ad kembali. Dijawab Rasulullah “Besar jumlah sepertiga itu sesungguhnya jika engkau tinggalkan anakmu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik.”
Berdasarkan aturan ini  orang tua anak atau anak angkat tidak akan memperoleh hak kewarisan, karena dia bukan ahli waris.  Dalam Kompilasi Hukum Islam orang tua angkat secara serta merta dianggap telah meninggalkan wasiat (dan karena itu diberi nama wasiat wajibah) maksimal sebanyak 1/3  dari harta yang ditinggalkan untuk anak angkatnya, atau sebaliknya anak angkat untuk orang tua angkatnya, dimana harta tersebut dalam sistem pembagiannya bahwa sebelum dilaksanakan pembagian warisan kepada para ahli warisnya, maka wasiat wajibah harus ditunaikan terlebih dahulu. 
Peraturan ini dianggap baru apabila dikaitkan dengan aturan di dalam fiqh bahkan perundang-undangan kewarisan yang berlaku diberbagai dunia Islam kontemporer. Alqur’an menolak penyamaan hubungan karena pengangkatan anak yang telah berkembang di dalam adat masyarakat bangsa arab,  waktu itu karena ada hubungan pertalian darah. 
Sedangkan di dalam masyarakat muslim Indonesia  sering terjadi adanya pengangkatan anak terutama bagi mereka yang di dalam perkawinannya tidak dikaruniai keturunan. Pengangkatan anak yang biasanya dikukuhkan dengan aturan adat ini, sering menimbulkan kesulitan, perasaan tidak puas, bahkan tidak jarang adanya tuduhan tidak adil ketika salah satu pihak meninggal dunia. Dalam hubungan pengangkatan anak hal ini sering terjadi anak angkat tidak memperoleh harta sedikitpun karena orang tua angkatnya tidak sempat berwasiat atau tidak tahu bahwa anak angkatnya tidak berhak memperoleh warisan (menurut fiqh) namun sebaliknya sebagian orang tua angkat menempuh dengan cara hibah, yang kadang-kadang juga tidak mulus karena sesudah hibah dilakukan terjadi pertengkaran dan ketidakakuran antara  anak dengan orang tua angkat tersebut.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mempunyai ketentuan tersendiri mengenai konsep wasiat wajibah ini hanya kepada anak angkat dan orang tua angkat saja. Dalam pasal 209 KHI disebutkan bahwa harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176 sampai dengan pasal 193 KHI, terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberikan wasiat wajibah sebanyak sepertiga dari harta warisan anak angkatnya. Sedangkan terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya. Berbeda dengan konsep wasiat wajibah yang diatur dalam fiqih yang memberlakukan wasiat wajibah hanya bagi orang yang memiliki hubungan darah dengan si pewaris.
Untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi kesulitan yang terjadi ditengah masyarakat maka diberlakukanlah peraturan mengenai hukum wasiat wajibah karena hubungan pengangkatan anak dimasukkan ke dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan dasar hukum bagi umat Islam di Indonesia.


7.    Wasiat Wajibah Dalam Persfektif Fiqh
Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’.[9]Suparman dalam bukunya Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), mendefenisikan wasiat wajibah sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.[10]
Dalam undang-undang hukum wasiat Mesir, wasiat wajibah diberikan terbatas kepada cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu dan mereka tidak mendapatkan bagian harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai zawil arham atau terhijab oleh ahli waris lain.[11]
Para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan atau tabarru' .
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam dikalangan madzhab Hanafi yang mengatakan wasiat adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan kebendaan maupun manfaat secara suka rela tanpa imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi kematian orang yang menyatakan wasiat tersebut.
Sedangkan Al-Jaziri, menjelaskan bahwa dikalangan mazhab Syafi'i, Hambali, dan Maliki memberi definisi wasiat secara rinci, wasiat adalah suatu transaksi yang mengharuskan orang yang menerima wasiat berhak memiliki sepertiga harta peninggalan orang yang menyatakan wasiat setelah ia meninggal dunia .
























C.   PENUTUP
a.    Kesimpulan
Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’. Wasiat wajibah juga dapat diartikan sebagai suatu pemberian yang wajib kepada ahli waris atau kaum keluarga terutama cucu yang terhalang dari menerima harta warisan karena ibu atau ayah mereka meninggal sebelum kakek atau nenek mereka meninggal atau meninggal bersamaan. Ini karena berdasarkan hukum waris mereka terhalang dari mendapat bagian harta peninggalan kakek dan neneknya karena ada ahli waris paman atau bibi kepada cucu tersebut.
Untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi kesulitan yang terjadi ditengah masyarakat maka diberlakukanlah peraturan mengenai hukum wasiat wajibah karena hubungan pengangkatan anak dimasukkan ke dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan dasar hukum bagi umat Islam di Indonesia.
b.    Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis  menyadari banyak terdapat kekurangan dan kealfaaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sehingga makalah ini bisa mendekati kesempurnaan. Amin Ya Rabbal ‘Alamin







DAFTAR PUSTAKA
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (2008)Jakarta: Pena Pundi Aksara

Suparman Usman, Yusuf somawinata, Fiqih Mawaris,(2002) Jakarta: Gaya Media Pratama

Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam, Syafi’i, Hazairin dan KHI, (2006), Pontianak: Romeo Grafika

Asyhari Abta, Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidl, (2005), Surabaya: Pustaka Hikamah Perdana

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Laporan Hasil Seminar Hukum Waris Islam,(1982), Jakarta : Departemen Agama Republik Indonesia

Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (2012) Jakarta : Sinergi Pustaka Indonesia

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (1992) Jakarta : Akademia Pressindo

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (1981)
Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. (2002), Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve

Suparman, et.all,. Fiqih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam),(1997) Jakarta: Gaya Media Pratama

Ahmad Zahari, Tiga versi Hukum Kewarisan Islam, Syafi’i, Hazairin dan KHI,(2006) Pontianak: Romeo Grafika


[1] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008.  jilid 4, h. 523
[2]Suparman Usman, Yusuf somawinata, Fiqih Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, h.163
[3]Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam, Syafi’I, Hazairin dan KHI, (Pontianak: Romeo Grafika, 2006), h.98 
[4] Asyhari Abta, Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidl, Surabaya: Pustaka Hikamah Perdana, 2005, h.227
[5]Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia, Laporan Hasil Seminar Hukum Waris Islam, 1982, h, 78
[6]Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Sinergi Pustaka Indonesia : 2012), h. 34
[7]Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, ( Jakarta : Akademia Pressindo, 1992) h. 28
[8]Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 1981, h. 102
[9]Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2000), Jilid 6, h.1930.
[10]Suparman, et.all,. Fiqih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam). (Jakarta: Gaya Media Pratama,1997), h. 163.
[11] Ahmad Zahari, Tiga versi Hukum Kewarisan Islam, Syafi’I, Hazairin dan KHI, (Pontianak: Romeo Grafika, 2006), h.98.

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: