Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Sabtu, 25 April 2015

TA'WIL




     a. Pengertian Ta’wil.
Secara etimologi, ta'wil berasal dari kata آلَ  يَؤُوْلُ  أَوْلٌ ((الأَوْلُ yang artinya الرجوع (kembali)[1] dan العاقبة (akibat atau pahala),[2] Sedangkan isim makan dan zamannya adalah موئلا atau الموئل yang berarti المرجع tempat kembali, Ada juga yang mengatakan bahwa kata " أَوَّلَ " yang berarti   الرجوع   إليه و يعتمد عليه(kembali dan bersandar kepadanya), juga memberi pengertian unggul dan memiliki pengikut,[3] Kata أَوَّلَ digunakan karena sesudahnya kembali dan bersandar kepadanya.[4]
Sedangkan dalam terminologi Islam, Ibnu Manzhur menyebutkan dua pengertian ta'wil secara istilah dalam Lisan Al-Arab; pertama, ta'wil adalah sinonim (muradhif) dari tafsir. Kedua, ta'wil adalah memindahkan makna zhahir dari tempat aslinya kepada makna lain karena ada dalil.[5]
Al-Jurjani dalam kamus istilahnya yang terkenal At-Ta'rifat, menyatakan "Ta'wil secara bahasa bermakna kembali, sedangkan secara istilah bermakna mengalihkan lafazh dari maknanya yang zhahir kepada makna lain (batin) yang terkandung di dalamnya, apabila makna yang lain itu sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah".[6]
 Ibnu Al-Jawzi dalam bukunya Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah mengatakan bahwa, "Ta'wil adalah mengalihkan lafazh ambigu (muhtamal) dari maknanya yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena adanya dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh pembicara adalah makna yang lemah".[7]
Imam Haramain Al-Juwaini dalam bukunya Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh berkata, "Ta'wil adalah mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna yang dimaksud (esoteris) dalam pandangan penta'wil".[8]
Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul mengatakan, "Ta'wil adalah sebuah ungkapan (istilah) tentang pengambilan makna dari lafazh yang ambigu (muhtamal) dengan didukung dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir".[9]
Abu Al-Hasan Al-Amidi Rahimahullah salah seorang ulama ushul dalam Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam mengatakan, "Ta'wil adalah mengalihkan lafazh yang muhtamal  dari makna zhahirnya berdasarkan dalil yang menguatkannya".[10]
Ibnu Taimiyah dalam bukunya Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta'wil menyatakan bahwa ulama mutaqaddimin (salaf) berpendapat bahwa ta'wil merupakan sinonim dari tafsir, sehingga hubungan (nisbat) diantara keduanya adalah sama. Seperti yang digunakan oleh Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Ayat Al-Qur'an; ta'wil dari ayat ini adalah demikian, para ulama berbeda pendapat tentang ta'wil ayat ini. Kata ta'wil yang dimaksudkan oleh beliau adalah tafsir. Sedangkan ta'wil menurut ulama mutaakhkhirin (khalaf) dari kalangan ulama ushul, kalam, dan tashawwuf adalah mengalihkan makna lafazh yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh), karena ada dalil yang menyertainya.[11]
Jadi, ta'wil dalam istilah salaf adalah sinonim dari tafsir. Kemudian pada masa khalaf mengalami perubahan makna menjadi suatu pengalihan makna lafazh yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) dengan berdasarkan dalil.
b. Bentuk-Bentuk Ta'wil.
Para ulama ushul merupakan kelompok yang paling mendalami kajian ayat-ayat Al-Qur'an, bila dibandingkan dengan kelompok disiplin ilmu lainnya. Hal itu mereka lakukan untuk kepentingan pengambilan hukum (istimbath al-ahkam). Sehingga kajian para ulama ushul merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari pendalaman kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta'wil, diantaranya mengkhususkan lafazh yang umum (takhshish al-umum), membatasi lafazh yang mutlak (taqyid al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi, atau dari makanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah.[12]
1.      Mengalihkan lafazh dari maknanya yang umum kepada yang khusus, dalam bahasa ushul disebut takhshish al-umum (تخصيص العموم). Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 228
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè%
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (QS. Al-Baqarah: 228).

Ayat diatas menerangkan bahwa wanita yang dithalaq oleh suaminya harus menjalani iddah (masa tunggu)  selama tiga kali masa haidh atau masa suci (thalathah quru'). Ayat ini berlaku umum, baik istri yang sudah digauli maupun belum, haidh, monopouse, atau dalam kondisi hamil. Kemudian ayat ini ditakhshish dengan ayat yang lain dalam QS.Al-Ahzab:49
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br&  Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`ÎgøŠn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎhŽ| ur %[n#uŽ|  WxŠÏHsd
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (QS.Al-Ahzab:49).

Ayat diatas menerangkan bahwa wanita yang belum digauli tidak memiliki iddah (masa tunggu).
2.      Mengalihkan lafazh dari maknanya yang mutlak (muthlaq) kepada yang terbatas (muqayyad), dalam bahasa ushul disebut taqyid al-muthlaq (تقييد المطلق). Seperti firman Allah tentang haramnya darah dalam QS. Al-Maidah:3
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ èps)ÏZy÷ZßJø9$#ur äosŒqè%öqyJø9$#ur èptƒÏjŠuŽtIßJø9$#ur èpysÏܨZ9$#ur !$tBur Ÿ@x.r& ßìç7¡¡9$# žwÎ) $tB ÷LäêøŠ©.sŒ $tBur yxÎ/èŒ n?tã É=ÝÁZ9$#
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. (QS. Al-Maidah:3).

lafazh mutlak (muthlaq) kemudian dibatasi (taqyid) dengan kata "mengalir" (masfuhan) dalam ayat yang lain yaitu QS.Al-An'am: 145, sehingga yang diharamkan adalah darah yang mengalir.
3.      Mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi. Seperti pada firman Allah dalam QS.An-Nisa': 2
(#qè?#uäur #yJ»tFuø9$# öNæhs9ºuqøBr& ( Ÿwur (#qä9£t7oKs? y]ŠÎ7sƒø:$# É=Íh©Ü9$$Î/ ( Ÿwur (#þqè=ä.ù's? öNçlm;ºuqøBr& #n<Î) öNä3Ï9ºuqøBr& 4 ¼çm¯RÎ) tb%x. $\/qãm #ZŽÎ6x. ÇËÈ  
Artinya: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (QS.An-Nisa': 2).

           Ayat diatas menerangkan untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim, yaitu anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh. Ayat ini bertentangan dengan ayat berikutnya QS.An-Nisa': 6
(#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷Š$$sù öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr&
Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (QS.An-Nisa': 6).

Ayat diatas menerangkan untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim pada saat mereka telah baligh dan dewasa. Dengan ayat kedua ini, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan lafazh yatim pada ayat yang pertama bukan makna hakiki (anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh) tapi makna majazi yaitu ketika mereka telah baligh dan dewasa.[13]
4.      Mengalihkan lafazh dari maknanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah. Seperti perintah untuk mencatat hutang piutang dalam QS. Al-Baqarah: 282 yang bermakna wajib, kemudian ada dalil (qarinah) dalam ayat lain yang yang mengalihkannya menjadi sunnah yaitu pada ayat selanjutnya QS. Al-Baqarah: 283. 
c.       Ruang Lingkup Ta'wil
Allah Azza wa Jalla menurunkan Al-Qur'an dengan dua macam ayat; muhkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksud dan maknanya. Sedangkan mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan perkara-perkara gaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain. Secara umum, ayat-ayat mutasyabihat merupakan objek kajian ta'wil (majaal al-ta'wil).
Lebih spesifik lagi Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul dalam Syarh Muqaddimah fi Ushul Tafsir Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa, mantuq memiliki lima macam; nash,[14] zhahir,[15] muawwal,[16] dalalah iqtidha',[17] dan dalalah isharah.[18] Maka nash dan zhahir adalah bagian dari pembahasan tafsir, sedangkan muawwal, dalalah iqtidha', dan dalalah isharah adalah bagian dari pembahasan ta'wil.[19]
Ash-Shaukani dalam Irsyadul Fuhul menjelaskan bahwa ada dua ruang lingkup ta'wil (majaal al-ta'wil); Pertama, kebanyakan dalam masalah-masalah furu', yakni dalam nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah. Ta'wil dalam ruang lingkup ini tidak diperselisihkan lagi mengenai bolehnya di kalangan ulama. Kedua, dalam masalah-masalah ushul, yakni nash-nash yang berkaitan dengan masalah aqidah. Seperti, nash tentang sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, bahwa Allah memiliki tangan, wajah, dan sebagainya. Selain itu, termasuk juga huruf muqattha'ah di permulaan surat-surat.[20]

d.      Perbedaan Antara Tafsir dan Ta’wil.
Perbedaan antara tafsir dan takwil para ulama berbeda pendapat. Jika dilihat dari pengertian tafsir dan takwil maka dapat dibedakan atas :
Ta’wil :
1.      Takwil adalah menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya, maka makna “tafsir dan “takwil” adalah dua kata yang berdekatan atau sama maknanya.
2.      Takwil adalah esensi yang dimaksud dari suatu perkataan, maka takwil dari talab (tuntutan) adalah esensi perbuatan yang dituntut itu sendiri dan takwil dari khabar adalah esensi yang  diberitakan.
Tafsir :
3.      Dikatakan tafsir adalah apa yang telah jelas didalamnya kitabullah atau tertentu pasti) dalam sunnah yang sohih karena maknanya telah jelas dan gamblang.
4.      Dikatakan pula tafsir lebih banyak digunakan dalam menerangkan lafadz dan mufrodat (kosa kata), sedang ta’wil lebih banyak dipakai dalam menjelaskan makna dan susunan kalimat.
Atas dasar ini maka perbedaan antara keduanya cukup besar, sebab tafsir merupakan syarah dan penjelasan bagi suatu perkataan. Sedangkan ta’wil ialah esensi dari suatu yang berada dalam realita (bukan dalam pikiran). Ta’wil memerlukan renungan dan pemikiran dalam membuka tabir/makna yang terkandung didalamnya. Dengan menggunakan istidlal dapat menyeleksi makna yang lebih kuat, sifatnya tidak pasti sebab kalau makna tersebut dipastikan maka berarti manusia telah menguasai al-Qur’an sedang ditegaskan dalam kitabullah :
 وما يعلم تأ ويله إلا الله (الأ يه, والله اعلم)
Misalnya:
¨bÎ) y7­/u ÏŠ$|¹öÏJø9$$Î7s9  
Artinya :Sesunguhnya tuhanmu benar-benar mengawasi  (QS al-fajr   :14).

            Penafsiran ayat di atas adalah bahwa Allah senantiasa mengintai (mengawasi) hamba-Nya, sedangkan takwilnya adalah bahwa Allah selalu mengingatkan hamba-Nya dari kemungkinan mengabaikan perintah-perintah-Nya serta melupakan atau melalaikan semua itu dari kemungkinan mempersiapkan hal-hal yang di anggap perlu.
Tafsir dan ta’wil keduanya memiliki kontribusi yang sama dalam memahami al-Qur’an.  Tafsir merupakan penjelas dari apa yang dimaksudkan oleh Allah dan tidak akan diperoleh secara pasti kecuali dari para Rosulullah atau dari para sahabat. Sedangakan ta’wil merupakan kerja tarjih yang bersandar kepada ijtihad. Tarjih akan sulit dilakukan atau bahkan mustahil tanpa ada penelusuran kosa kata arab, keterkaitan ayat sebelumya dan sesudahnya, khas dan ‘am, mujmal dan muqayyad dan lainya. Dalam hal ini tafsir merupakan perpanjangan dari ilmu tafsir dan tafsir berfungsi menyiapkan perangkat-perangkat ta’wil.(Abu Zaid)[21]

A.  PENUTUP

Kesimpulan.
Tafsir secara bahasa adalah menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Sedangkan tafsir secara istilah ialah ilmu yang membahas cara mengucapan lafaz-lafaz Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.
Ta’wil menurut bahasa berarti kembali kepada asal. Sedangkan ta’wil Dalam pengertiannya khusus hanya menentukan salah satu arti dari beberapa arti yang dimiliki lafaz ayat, dari yang kuat kepada arti yang kurang kuat, karena adanya alas an yang mendorongnya.
Sejarah perkembangan tafsir dari Rasullah sampai kepada Sahabat, Tabi’in, dan Tibi’in Tabi,in. Perbedaanya jika pada masa Nabi pra Sahabat langsung menanyakan kepada Nabi. Akan tetapi pada masa Tabi’in sumber penafsiran banyak dari para sahabat, sehingga banyak murid sahabat dari Tabi’in. perkembangan tafsir dari generasi ke generasi mengalami banyak perubahan disebabkan oleh latar belakang pendidikan dan kapsitas ke ilmuan dari para penafsir.
Perbedaan tafsir dan ta’wil adalah pada penafsiran ayat, jika tafsir lebih spesifik penafsirannya terhadap ayat-ayat muhkamat. Sedangkan ta’wil orientasinya kepada ayat-ayat mutasyabihat.adapun persamaannya antara tafsir dan ta’wil sama-sama menafsirkan al-Qur’an.
Bentuk-bentuk penafsiran meliputi tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi, dan tafsir isyari. Tafsir bi al-ma’tsur adalah bentuk penafsiran dengan al-Qur’an, dengan Hadis Nabi, dengan ijtihadnya para sahabat serta ijtihadnya para tabi’in.
Sedangkan tafsir bi al-ra’yi adalah bentuk penafsiran melalu ijtihad dan  seorang penafsir itu betul-betul mengetahui perihal bahasa arab, asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir seperti mengenai syarat-syarat penafsir.
Tafsir bi al-Isyari merupakan tafsir yang prosesnya melelui palatihan batin sehingga mendapatkan ilmu dari tuhan. Tafsir ini banyak dipakai oleh ahli suluk.
Adapun metode menafsirkan al-Qur’an adalah menggunakan metode tahlily, moqaran, maudhu’iy dan ijmali. Metode tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya.  Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf.
Metode Tafsir Ijmaly adalah penafsiran Al-quran secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar, tapi mencakup makna yang dikehendaki dalam ayat. Dalam hal ini mufassir hanya menjelaskan arti dan maksud ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan artinya sebatas makna yang terkait secara langsung, tanpa menyinggung hal-hal tidak terkait secara langsung dengan ayat.
 Metode Tafsir muqaran adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis oleh sejumlah panafsir. Disini seorang mufassir menghimpun sejumlah ayat-ayat al-Qur’an, kemudian mengkaji dan meneliti penafsiran sejumlah mufassir mengenai suatu ayat melalui beberapa kita-kitab tafsir. Apakah termasuk pada tafsir bi al-ma’tsur maupun tafsir bi al-ra’yi.
Metode Tafsir maudhu’iy adalah menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai maksud yang sama  dalam arti sama-sama membicarakan suatu topik masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologis serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut.
























DAFTAR PUSTAKA


Abd. Al-Hayy al-Farmawi. Metode Tafsir Mawdhu’iy. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1994

Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al-Juwaini, Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh, tahqiq; Abdul Azhim Diyb. Fakultas Syari'ah Universitas Qatar, 1399 H.

al-Qattan, MannaKhalil. Mabahis fi ulumil Qur’an., terj. Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu Al-AQur’an. Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, Cet.III 1996

Al-Jurjani, Ali bin Muhammad.  Kitab At-Ta'rifat, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1988.

Al-Ghazali, Abu Hamid . Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul , Beirut: Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, 2008

Al-Amidi, Abu Al-Hasan. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, Beirut: Al-Maktab Al-Islami, tt

Ar-Raghib Al-Isfahani, Mufradat fi Gharib Al-Qur'an, Maktabah Nizar Musthafa Al-Baz, tt

Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an., dikutip dalam Ali al-Hasan, al-Manar,  Beirut: Darul al-Fikr, Cet. I, 1998

Asy-Syaukani, Muhammad 'Ali . Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul, Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 2000.

Az-Zarkasyi, Muhammad bin Abdullah . Al-Burhan fi Ulum Al-Qur'an,  Kairo: Dar Al-Hadith, 2006.

Ibnu Al-Jawzi, Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah, tahqiq; Mahmud bin Muhammad As-Sayyid Ad-Dugim. Kairo: Maktabah Matbuli, 1995.

Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Beirut: Dar Shadir, tt

Ibnu Faris, Mu'jam Maqayis Al-Lughah, Beirut: Dar Al-Fikr, 1979

Ibnu Taimiyah, Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta'wil,  Iskandariyah: Dar Al-Iman, tt

Mawardi Abdullah, Ulumul qur’an . Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011.

Nasir. Ridlwan,  Memahami Al-Qur’an persefektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin. Surabaya: CV. Indra Media. 2003

M. Natsir Arsyad. Sari Buku Pintar Islam Seputar Al-Qur’an, Hadist dan Ilmu. Bandung: Al Bayan. 1996

Husain Thabathaba’I, Muhammad. Al-Qur’an fi Al-Islam.,terj. A. Malik Madaniy dan Hamim Ilyas, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an ,  edisi Two in one, Bandung: Mizan , Cet.I, 2009

Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Syarh Muqaddimah fi Ushul Tafsir Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, Madinah: Universitas Islam Madinah Munawwarah, 1424 H.

Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir , Bandung:Pustaka Setia, Cet.III, 2005



[1] Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt). vol.XI h. 32
[2] Ibnu Faris, Mu'jam Maqayis Al-Lughah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1979). vol.I h.162 dan Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur'an, (Kairo: Dar Al-Hadith, 2006). h.416.
[3] Ibnu Taimiyah, Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta'wil, (Iskandariyah: Dar Al-Iman, tt). h.30
[4] Ar-Raghib Al-Isfahani, Mufradat fi Gharib Al-Qur'an, (Maktabah Nizar Musthafa Al-Baz, tt). vol I h. 40
[5] Ibnu Manzhur, Lisan…..h. 32
[6] Ali bin Muhammad Al-Jurjani, Kitab At-Ta'rifat, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1988). h. 50
[7] Ibnu Al-Jawzi, Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah, tahqiq; Mahmud bin Muhammad As-Sayyid Ad-Dugim (Kairo: Maktabah Matbuli, 1995), cet II, h. 111
[8] Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al-Juwaini, Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh, tahqiq; Abdul Azhim Diyb (Fakultas Syari'ah Universitas Qatar, 1399 H). vol I h. 511
[9] Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul , (Beirut: Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, 2008). h. 312
[10] Abu Al-Hasan Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, tt). vol.III h.53
[11] Ibnu Taimiyah, Al-Iklil…..h. 27-28
[12] Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqih Al-Islami, (Dar Al-Fikr, 1986). vol.1 h. 314 dan Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta'wil ……. h.10
[13] Makna hakiki dari yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum usia baligh.
[14] Nash adalah lafazh yang memiliki makna yang jelas dan tidak memiliki makna yang lain.
[15] Zhahir adalah adalah lafazh yang memiliki makna lain tapi lemah, seperti kata al-baghi yang memiliki dua arti yaitu ungkapan untuk orang yang bodoh dan orang yang zhalim, akan tetapi kata al-baghi kebanyakan diungkapkan untuk orang yang zhalim.
[16] Muawwal adalah lafazh yang dipalingkan dari maknanya yang kuat kepada makna yang lemah karena ada qarinah (indikasi) yang menunjukkan hal itu.
[17] Dalalah iqtidha' adalah kebenaran petunjuk lafazh suatu makna tergantung kepada sesuatu yang tidak disebutkan, seperti firman Allah QS.Al-Barah:184, "Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau musafir, maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain", ayat ini memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu lalu ia berbuka (sakit atau musafir lalu ia berbuka, maka). Karena kewajiban qadha' hanya berlaku bagi musafir jika ia berbuka dalam perjalanan.
[18] Dalalah isharah adalah kebenaran petunjuk lafazh suatu makna tidak tergantung kepada sesuatu yang tidak disebutkan, tapi lafazh menunjukkan kepada suatu makna yang tidak dimaksud pada mulanya, seperti firman Allah dalam QS.Al-Baqarah: 187 yang menunjukkan sahnya puasa orang yang di waktu fajar masih dalam keadaan junub. Membolehkan melakukan penyebab sesuatu berarti membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka membolehkan jima' hingga fajar berarti membolehkan junub pada waktu fajar.
[19] Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Syarh Muqaddimah fi Ushul Tafsir Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, (Madinah: Universitas Islam Madinah Munawwarah, 1424 H). h.88
[20] Muhammad 'Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul, (Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 2000). vol. II h. 756
[21] Mawardi Abdullah, Ulumul qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) h.146

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: